YRV>>ARTIKEL TERPOPULER
latitu chan
On Jumat, 06 Juli 2012
oleh Abdurrahman Shalehan
Syabab. Artinya pemuda. Ada yang mengatakan jika ingin melihat masa
depan suatu bangsa, maka lihatlah keadaan pemudanya. Namun, apa yang
dimiliki kaum muda saat ini? Tak terkecuali pemuda Islamnya. Siapapun
bisa menilai, sebagian dari mereka tidak berusaha menjadi yang terbaik
sekuatnya. Justeru memilih menjadi korban gerusan zaman yang kian gila.
Bukan menciptakan gelombang baru. Menciptakan perubahan. Penyanggah
peradaban. Tidak pula memilih untuk memanggul tugas-tugas besar yang
sejatinya merekalah pengembannya.
Pemuda saat ini, lebih banyak
memilih ikut-ikutan dari pada menjadi teladan. Menelan bulatbulat apa
yang kaum barat –barbar– suntikan ke nadi-nadi mereka. Dihisap. Ditiru
seutuhnya budayabudaya yang sejatinya adalah kemaksiatan semata. Tanpa
pilah. Lalu, jadilah freesex meraja. Narkoba menggila. Aborsi menjadi
biasa. Kaum muda kehilangan jatidirinya sebagai tiang peradaban. Hancur
berdebam. Berantakan. Hari-harinya adalah dosa yang bergelimang.
Naudzubillah …
Mereka, tidak memaksimalkan “modal-modal” yang sejatinya hanya dimilki para pemuda: semangat yang baja, waklu luang, otak yang cerdas, fisik yang kuat, mimpi yang besar serta cita-cita yang mengagumkan.
Pemuda … kita adalah masa depan. Kita adalah solusi jika kita menginginkan menjadi solusi.
“JIKA KITA TIDAK MENJADI BAGIAN DARI SOLUSI, MAKA BISA DIPASTIKAN KITA ADALAH BAGIAN DARI MASALAH”.
Lalu, mengapa kita memilih menjadi kerdil padahal dunia telah maklum bahwa sejarahsejarah besar selalu ditoreh oleh para pemuda?
Modal-modal itu justeru dipakai untuk bersenang ria. Waktu luang yang
ada “dibunuh” untuk berbuat dosa. Acuh pada kegilaan zaman yang
diam-diam menikam. Membunuh karakter khas seorang pemuda. Pemuda kini
menjadi pembebek yang dungu. Beku dilingkup waktu.
Pemuda. Kodrat mereka adalah bergerak. Berontak. Memihak. Bukan
netral. Bukan apatis. Bukan pasrah-menyerah-kalah. Tidak ada
ketidakberpihakan di muka bumi. Tidak ada ke-netralan. Jika tidak
menjadi orang baik, maka kita adalah orang buruk. Jika tidak memihak
kebenaran, bisa dipastikan kita memihak kesalahan. Harus selalu ada yang
kita bela. Harus selalu ada yang kita perjuangkan. Bukan diam
berbicara.
Nabi kita. Muhammad SAW
pernah bicara “Barangsiapa yang di setiap bangun tidurnya tidak
memikirkan masalah ummat, maka dia bukan bagian dari ummatku.” Lalu jika
kita tidak peduli pada ummat, dengan wajah seperti apa kita akan
menemui Nabi kita kelak. Tangan kotor yang “suci” dari membantu
menyelesaikan problematika ummat inikah yang kita pakai untuk menjabat
tangannya yang mulia? Tidakkah kita malu pada Ali Bin Abi Thalib,
Mush’ab, Salman, Al-Fatih dan semua pemuda yang telah mendedikasikan
degup jantungnya untuk membela ummat, menegakkan Islam agar semakin
menguat. Ah, seperi dilipat wajah ini rasanya. Memerah padam. Malu.
Kenali kami kelak ya Rasulullah … Akui kami sebagai ummatmu …
Pemuda. Jika kita tidak
mengambil amanah besar ini, tidak mengambil peran dalam penegakan ISLAM,
lalu siapakah lagi? Apakah kita menyerahkannya kepada mereka yang
renta? Atau meminta kepada anakanak taman bermain untuk memikulnya?
Tidak mungkin. Maka tidak ada pilihan lain kecuali kita yang harus
mengambil dan menjalankannya semaksimal kekuatan yang kita miliki. Kita
muda. Beda dan berbahaya, begitu ujar SID.
Getir. Prihatin. Miris memang
jika menyaksikan keadaan kaum muda saat ini. Kebanyakan justeru menjadi
permasalahan bukan solusi. Pertanyaannya memang seharusnya begitukah
hidup ini dijalani?
Kita, mari menjadi pemuda
terbaik yang menoreh sejarah kemilau di tengah arus zaman yang menyilau.
Yang berdiri di garis depan memperjuangkan kebenaran, menumbangkan
ke-sesatan. Mari menjadi pohon tinggi, besar, rindang dan paru-paru
dunia. Yang melindungi, memberi, mengayomi, menjaga agar bumi tetap
kondusif. Bukan menjadi bonsai yang terpangkas; hanya tampak indah namun
sebatas penghias. Terlebih menjadi pohon yang memati. Kering.
Kerontang, menjadi sampah busuk. Mencemari lingkungan. Kita berlindung
pada Allah dari hal ini.
Meski, pohon tinggi besar itu
akan ada jutaan yang berusaha menumbangkan. Mengganggu. Begitu deras
masalah yang menampar. Ada petir menggelegar yang jika menyambar sontak
mengeringkan. Ada angin yang terus bertambah riuh seiring pertumbuhan.
Begitu selalu, setiap detik, setiap waktu. Agar pohon besar tumbang.
Mati. Tidak lagi bersitegar berdiri di atas akar-akar tunggangnya. Dan
kita tidak ingin menjadi begitu bukan? Semenyiksa apapun yang kita
hadapi, kita harus terus bergerak. Sampai kapanpun. Biar bagaimanapun
ISLAM harus terus kita perjuangkan. Dekap erat. Se-erat dekapan Mush’ab
bin Umair ra pada panji ISLAM di medan UHUD, sebelum pangkas tangannya
di penggal pedang musuh.
Kita adalah masa depan. Kawan …